MAKALAH
PELANGGARAN HAM OLEH SATPOL PP
Di susun guna memenuhi tugas Pendidikan Pancasila yang
Di ampu oleh:
IBU EMMA MUZAEMMAH, SH, MH
DI SUSUN OLEH :
BIDARI AYU LESTARI
210007
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkah dan perkenan-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah Pelanggaran
HAM olehsatpol PP ini tepat waktu.
Makalah ini disusun dengan mengumpulkan beberapa materi mengenai batasan -batasan dalam setiap hak asasi yang
dimiliki satpolppdalam hokum di Indonesia.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya terdapat banyak kekurangan, oleh
karena itu kami mohon maaf serta kami berharap, makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca sekalian mengenai batasan - batasan tersebut.
Kritik dan saran tentunya sangat kami harapkan, agar kedepannya kami bisa
menyusun makalah dengan lebih baik lagi. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
Halamanjudul............................................................................................................. ........ i
Kata pengantar.......................................................................................................... ....... ii
Daftarisi..................................................................................................................... ...... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang......................................................................................... ....... 1
B.
PerumusanMasalah................................................................................ ....... 2
BAB II ISI
A.
Pelanggaran
HAM oleh satpol
PP........................................................... ....... 3
B.
Penanganan
yang di harapkan............................................................... ....... 5
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.............................................................................................. ..... 10
B.
Saran....................................................................................................... ..... 10
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... ..... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia
sebagai negara yang demokratis dan memiliki beragam kebudayaan,pada
kenyataannya senantiasa menjunjung dan menerapkan konsep penegakkan HAM dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.Pasca reformasi 1998,atensi terhadap
penegakkan HAM di Indonesia semakin meningkat tajam. Hak-hak asasi baik
sifatnya sipil-politik ataupun ekonomi, sosial dan budaya serta dimensi HAM
lainnya telah terkonstisionalisasi dalam perundang-undangan. Termasuk dalam UUD
1945 sendiri mengakui dengan jelas bagaimana hak asasi manusia itu harus
dihargai, dijunjung tinggi, dihormati dan negara menjadi pemangku kewajiban
dari pemenuhan hak-hak asasi tersebut. Dasar hukum bagi pelaksanaan HAM di
negara ini pun sudah cukup jelas dicantumkan dalam setiap hukum positif yang
berlaku, UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No 26 tahun 2000
tentang pengadilan HAM,dan berbagai ratifikasai penegakkan HAM yang sudah
diundangkan.Di dalam UU No 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah aturan-aturan
mengenai HAM juga dicantumkan dengan menegaskan bahwa pemerintah disebut sebagai
pemangku kewajiban sedangkan masyarakat sebagai pemangku hak.Hal itu
berarti,dalam undang-undang tersebut secara eksplisit juga menerapkan dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam hal hak warga negara (masyarakat).
Disisi
lain,peran elemen pemerintahan yang masih terlihat belum maksimal ini sudah
selayaknya dilakukan berbagai pembenahan utamanya pada domain penegakkan HAM
khususnya di Yogyakarta.Terlebih jika pelaku pelanggaran HAM tersebut adalah
bagian dari aparat pemerintahan semisal Satpol PP.Dalam prakteknya,prosedur
yang dilakukan oleh Satpol PP tidak memiliki ukuran dan wewenang yang
jelas.Seringkali aparat penegak perda ini melakukan distorsi yang melampaui
kewenangannya.Hal ini semakin bertambah parah lagi dengan minimnya pengetahuan
para aparat Satpol PP ini terutama mengenai permasalahan hak asasi manusia.Maka
tidaklah heran,dalam menjalankan tugas nya guna melakukan tindakan represif
non-yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran
atas perda dan atau keputusan kepala daerah seringkali terjadi penyalahgunaan
kewenangan yang berujung pada pelanggaran terhadap hak asasi manusia khususnya
di Yogyakarta.
B. PerumusanMasalah.
1.
Apasajapelanggaran HAM yang
dilakukan oleh satpol PP?
2.
BagaimanapelanggaranSatpolPP
dalam konsepsi HAM?
3.
Apa saja penanganan yang ideal untuk menghentikan pelanggaran oleh satpol PP menurut UUD
1945?
BAB II
ISI
A. PELANGGARAN HAM
OLEH SATPOL PP
Kejadian
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Satpol PP Sleman bermula ketika diadakannya
penertiban terhadap anak jalanan yang seringkali mangkal dikawasan Jombor
Sleman.Pada hari itu Selasa 6 Oktober 2009,sekitar pukul 13.30 WIB,sekelompok
Satpol PP berjumlah 12 orang anggota dengan 2 orang bertindak sebagai komandan
melakukan penertiban terhadap para anak jalanan tersebut.Ketika sampai di
sekitar wilayah terminal Jombor,para anggota Satpol PP tersebut langsung
beraksi.Melihat adanya sekelompok anggota Satpol PP itu para anak jalanan ada
yang berusaha menyelamatkan diri namun ada juga yang tidak bisa berbuat apa-apa
dan hanya pasrah ketika mereka dijaring oleh anggota Satpol PP itu.Para
masyarakat disekitar terminal menjadi saksi aksi brutal kejadian tersebut.
Disalah satu
warung makan disekitaran terminal,anggota Satpol PP mulai menangkapi anak-anak
jalanan tersebut,mereka lalu dikumpulkan disalah satu sudut
terminal.Barang-barang mereka seperti pakaian,tikar,dan perlengkapan lainnya
ikut dikumpulkan ditempat tersebut.Kemudian,salah satu anggota Satpol PP
mengambil sebotol minyak tanah dari dalam mobil,yang sepertinya sudah sengaja
dipersiapkan oleh mereka untuk menjalankan aksinya.Tanpa berkata banyak mereka
melakukan pembakaran terhadap barang-barang tersebut.Para anak jalanan tersebut
hanya terdiam menyaksikan perilaku para anggota Satpol PP yang sewenang-wenang
itu,mereka pun tidak mampu berbuat apa-apa.Bahkan ketika beberapa orang dari
anak jalanan tersebut berusaha untuk menyelamatkan pakaiannya yang terbakar,para
anggota Satpol PP tersebut justru menghalangi mereka.Kemudian beberapa orang
anak jalanan tersebut mengadukan kejadian itu pada sekelompok pemuda yang
berada di terminal itu,diduga mereka adalah sekelompok preman yang sering
mangkal di sekitaran terminal Jombor Sleman.Hampir saja terjadi kericuhan antara
sekelompok pemuda itu dengan para anggota Satpol PP yang melakukan pembakaran
itu,untungnya aparat Kepolisian yang kebetulan bertugas di pos lantas Jombor
segera datang dan melerai kedua belah pihak.Selanjutnya sekelompok anak jalanan
tersebut dibawa menuju Dinas Sosial Provinsi Yogyakarta oleh aparat Satpol PP
dan anggota Dinas Sosial yang juga ikut dalam penertiban tersebut.Dan komandan
yang memimpin anggota Satpol PP beserta sekelompok pemuda yang diduga preman
terminal Jombor dibawa menuju pos Polisi oleh aparat Kepolisian.Di pos Polisi
tersebut,kedua belah pihak didamaikan secara baik-baik oleh anggota Polisi,hal
ini tentu saja untuk mencegah meluasnya kejadian yang tidak diinginkan.
Pasca
terjadinya pembakaran terhadap pakaian anak-anak jalanan dikawasan Jombor
tersebut ternyata tidak berhenti sampai disitu saja.Sekelompok anak jalanan
yang merasa telah menjadi korban kebiadaban Satpol PP tidak terima terhadap
kejadian itu.Mereka lalu mengadu kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Yogyakarta.Mereka melaporkan kejadian tersebut dan mengharapkan LBH Yogyakarta
untuk meminta pertanggung jawaban Satpol PP Sleman terhadap tindakan
sewenang-wenang dari anggotanya.Oleh pihak LBH Yogyakarta,kejadian tersebut
diteruskan kepada pihak Kepolisian dalam hal ini Polda DIY untuk dibuatkan
laporan resminya.Menurut LBH,kejadian yang menimpa anak jalanan tersebut tidak
dapat di katakan sebagai kegiatan penertiban lagi.Apapun bentuknya kegiatan
tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran pidana yang melanggar
ketentuan pasal 170 KUHP dan juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia.Karenanya pihak LBH juga akan melaporkan kejadian tersebut kepada
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).Mereka berpendapat,apapun rupa
dari para anak jalanan tersebut,mereka tetaplah seorang manusia yang memiliki
hak dasar dan mereka juga adalah warga negara Indonesia yang wajib dilindungi
hak-haknya.
Namun
demikian,pihak Satpol PP menyanggah hal tersebut.Satpol PP Sleman tidak
mengakui adanya pembakaran yang dilakukan dengan sengaja terhadap barang-barang
para anak jalanan itu.Dalam hal melakukan penertiban mereka menyampaikan
prosedur penanganannya telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.Menurut mereka,pembakaran tersebut dilakukan ketika dilakukannya penertiban,mereka
menemukan spanduk-spanduk serta beberapa sampah koran-koran yang berserakan
disekitar tempat kejadian,lalu tidak jauh dari tempat itu terdapat tempat
pembakaran sampah yang masih terlihat bara apinya,sehingga mereka bermaksud
untuk sekaligus membersihkan barang-barang yang mereka duga sebagai sampah
jalanan yang bisa merusak pemandangan dan kebersihan disekitar areal terminal
Jombor.
B.
PENANGANAN YANG DIHARAPKAN
a.
Pelanggaran oleh Satpol PP dalam
konsepsi HAM
Permasalahan
anak jalanan yang kebanyakan masih dibawah umur,bukanlah hal yang baru terjadi
di Indonesia.Pada berbagai kota-kota di Indonesia,selalu saja ada anak-anak
jalanan yang muncul di sudut-sudut kota sampai dengan di jalan raya.Hal ini
memang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia,karena
sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pada pasal 34 (1) bahwa fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.Tetapi memang masalah
anak jalanan tidak bisa hanya dipandang dari satu perspektif sudut pandang
saja,hal ini harus diikuti dengan berbagai kajian terutama dari sisi pandang
sosial.Akan tetapi ditengah kewajiban negara terhadap penanganan masalah
anak-anak jalanan yang belum terselesaikan ini sudah selayaknya setiap kita
sebagai manusia senantiasa menghormati hak-hak asasi dari para anak jalanan
ini.Terlepas dari keterbatasan mereka yang harus menghidupi dirinya dengan
mengemis,meminta-minta,pengamen dijalan sampai dengan melakukan tindak
kejahatan,mereka tetaplah memiliki hak dasar yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
Pada bagian
konsiderens UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia huruf (b) dikatakan
bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada
diri manusia,bersifat universal dan langgeng,oleh karena itu harus
dilindungi,dihormati,dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi,atau
dirampas oleh siapapun.Makna yang terkandung didalamnya tentu saja
mencangkup keseluruhan masyarakat Indonesia dimanapun dia berada dimana
konsepsi ini tidak menghiraukan status sosial seseorang,entah itu seorang kaya
raya ataupun miskin,tetaplah sama perlakuannya terhadap keberadaan hak asasi
yang melekat pada pribadi mereka masing-masing. Menurut Prof.Drs.Koesparmono
Irsan SH, MM, MBA hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara alamiah
melekat pada setiap manusia dalam kehidupan masyarakat,bukan saja meliputi hak
perseorangan melainkan juga hak masyarakat,bangsa dan negara yang secara utuh
terdapat dalam UUD 1945 serta sesuai pula dengan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam the Universal Declaration on Human Rights 1948 dan
konvensi-konvensi Internasional lainnya (Hukum Humaniter,2003:200).Dengan
demikian,status sosial sebagai seorang anak jalanan tidaklah menghilangkan hak
asasi mereka sebagai manusia.
Tindakan yang
dilakukan oleh Satpol PP Sleman pada hari Selasa tanggal 6 Oktober 2009
tersebut sesungguhnya dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum
sebagaimana yang diatur dalam KUHP pasal 170 (1) yang mengatakan bahwa : “Barang
siapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap
orang atau barang,diancam dengan pidana paling lama lima tahun enam bulan”.
Tindakan pembakaran tanpa alasan yang dilakukan oleh aparat Satpol PP tersebut
dapat diduga sebagai penggunaan kekerasan terhadap orang atau barang,kemudian
tindakan oleh sekelompok aparat Satpol PP diartikan sebagai penggunaan dengan
tenaga bersama.Namun tentu saja untuk mendapatkan penerapan pasal dalam
KUHP yang tepat harus disertai dengan pembuktian yang akurat dan sesuai dengan
pedoman pada pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti.Pada penanganan ideal yang
akan dibahas dalam makalah ini,penulis tidak akan menggunakan perspektif hukum
positif,mengingat hal tersebut menjadi kewenangan penyidik Polri sebagai
institusi yang independen karena kasus ini pun telah dilaporkan kepada pihak
Kepolisian melalui Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ditinjau dari
sudut pandang sosiologis,perbuatan yang dilakukan oleh aparat Satpol PP
tersebut telah melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana yang
tercantum dalam empat prinsip utama Konvensi Hak Anak yang disetujui oleh
Majelis Umum PBB tanggal 20 September 1989 yakni : non-diskriminasi,
yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang serta berpartispasi.
Kemudian perbuatan pembakaran barang hak milik para anak jalanan tanpa alasan
yang jelas tersebut juga dapat diklasifikasikan tindakan perampasan terhadap
barang hak milik,hal ini sebagaimana dikatakan oleh James W Nickel dalam
bukunya mengenai HAM yang menyatakan bahwa unsur-unsur suatu hak adalah sebagai
berikut:
Masing-masing
hak mengidentifisikasikan suatu pihak sebagai pemilik atau pemegangnya.
Syarat-syarat pemilikan (conditions of possession) barangkali cukup
terbatas diberlakukan pada satu orang saja (misalnya hak seseorang untuk
dipanggil dengan nama kesukaannya) atau cukup luas untuk mencakup seluruh umat
manusia. Perlu prosedur-prosedur untuk merampas suatu hak, seperti menjual,
mengingkari atau menyitanya. Hal ini menunjukkan adanya kepemilikan atasnya.
i.
Hak adalah untuk suatu kebebasan
atau keuntungan (freedom and benefit).
ii.
Suatu hak yang ditetapkan secara
lengkap akan mengidentifikasi pihak atau pihak-pihak lain yang harus berperan
mengusahakan tersedianya kebebasan atau keuntungan yang diidentifikasikan oleh
ruang lingkup hak tersebut. Pihak-pihak ini adalah penanggung jawab atau pihak
yang harus menghormati hak tersebut (role and identification).
iii.
Bobot suatu hak menentukan suatu
urutan arti pentingnya dalam hubungannya dengan norma-norma lain. Bobot disini
berkenaan dengan soal apakah suatu hak kadang-kadang dapat dikalahkan oleh
pertimbangan-pertimbangan lain dalam kasus-kasus konflik. Hak prima factie adalah
hak yang tidak absolut, yang berhadapan dengan pertimbangan-pertimbangan lain;
bobot hak itu tidak ditentukan secara lengkap.
( Hak Asasi
Manusia dan Kepolisian,2008:8)
b. Penanganan
ideal yang seharusnya
Dasar hukum pelaksanaan
tugas Satuan Polisi Pamong Praja sebagai bagian dari elemen Pemerintah Daerah
adalah UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,pada pasal 148 dikatakan
bahwa :
(1) Untuk membantu kepala daerah dalarn menegakkan
Perda danpenyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk
Satuan Polisi Pamong Praja.
(2) Pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi
Pamong Praja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan
Pemerintah.
Selanjutnya
pada pasal 149 (1) UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan
bahwa :
(1) Anggota
Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidikpegawai negeri sipil
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Kedua pasal
inilah yang menjadi landasan hukum bagi terbentuknya Satpol PP di berbagai
daerah di Indonesia.
Sebagai bagian
dari elemen pemerintahan daerah maka selayaknya Satpol PP dalam menjalankan
tugasnya juga harus tetap berpegangan pada prinsip-prinsip Hak Asasi
Manusia,hal ini mengingat konsiderens dari UU No 32 tahun 2004 juga menyatakan
secara ekspilisit bahwa aparat pemerintahan haruslah senantiasa melaksanakan
kewajibannya dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi masyarakat tanpa
terkecuali.Cara-cara penggunaan kekerasan dan kesewenang-wenangan seharusnya
tidak dilakukan oleh aparat Satpol PP tersebut,walaupun memang dalam
kenyataannya keberadaan dari anak-anak jalanan ini sering kali mengganggu
ketertiban umum baik itu dari perilaku mereka maupun perbuatan mereka yang
sering tidak memikirkan kenyamanan pengguna jalan di jalan raya.Tapi point
utama yang juga harus dicermati adalah keberadaan anak jalanan tersebut adalah
status mereka yang rata-rata merupakan golongan anak dibawah umur,sebagaimana
hasil konvensi tentang hak anak atau United Nations Conventions on The Rights
of The Child terdapat folosofi dalam menjaga masa depan anak dan pemerintah
terikat untuk melaksanakan hal tersebut,yaitu :
i.
Perlindungan : anak-anak mempunyai
hak untuk dilindungi darikekejaman, penyalah-gunaan, penelantaran, dan eksploitasi;
ii.
Peran serta : anak-anak
mempunyai hak untuk memerankan peran yang aktif
dalam masyarakat, berpartisipasi dalam
kehidupan bermasyarakat sesuai dengan alam pikirnya;
iii.
Penyediaan : setiap anak
mempunyai hak agar kebutuhan dasarnya di-penuhi.
( Hak Asasi
Manusia dan Kepolisian,2008:88)
Dengan berbagai
penjelasan mengenai hal-hal yang sepatutnya dilakukan oleh Satpol PP dalam
menjalankan tugas pokoknya sebagai bagian dari elemen pemerintahan daerah maka
sudah sepatutnya penggunaan cara-cara dengan kekerasan tidak lagi dilaksanakan
oleh Satpol PP terutama pada kasus ini.Banyak cara yang bersifat preventif yang
masih bisa dijalankan dan dilaksanakan serta dengan senantiasa berpedoman pada
keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan YME dan memiliki hak-hak dasar
yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati terlebih lagi oleh aparat penegak
hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melalui berbagai penjelasan mengenai kasus pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh Satpol PP Sleman tersebut maka penulis mencoba
mengambil beberapa point kesimpulan diantaranya adalah:
i.
Keberadaan anak jalanan yang
terkadang sering meresahkan masyarakat apapun bentuknya,tidaklah lantas serta
merta menghilangkan hak asasi mereka sebagai mahluk ciptaan Tuhan YME.
ii.
Penggunaan cara-cara kekerasan yang
dilakukan oleh Satpol PP Sleman adalah kurang tepat,baik dilihat dari sudut
pandang sosiologis melalui adanya dugaan pelanggaran HAM maupun dilihat dari
kaca mata hukum positif yang berlaku di Indonesia.
iii.
Satpol PP sebagai bagian dari elemen
Pemerintahan Daerah hendaknya mendahulukan cara-cara yang bersifat preventif
dalam menjalankan tugasnya,karena bentuk kewenangannya adalah menegakkan hukum
non-yustisial seperti Peraturan Daerah (perda).
iv.
Bahwa prinsip-prinsip mengenai hak
anak sering kali dilanggar oleh aparat penegak hukum,salah satu penyebabnya
adalah kurangnya pengetahuan mengenai hal tersebut akibat dari minimnya fungsi
pembinaan dalam pola pendidikan dan rekruitment aparat tersebut.
B.
Saran
Dalam
kesempatan ini, penulis mencoba mengajak semua pihak terkait untuk mengkaji
ulang mengenai pelaksanaan tugas Satpol PP sebagai aparat pengawal peraturan
daerah. Hal ini didasarkan pada banyaknya contoh kasus kekerasan yang dilakukan
oleh oknum Satpol PP ketika menjalankan tugas nya utamanya dalam melakukan
penertiban. Terlebih lagi, pada beberapa kesempatan telah muncul wacana untuk
menggunakan senjata api oleh Satpol PP,padahal tingkat urgensi dalam
menggunakan senpi tersebut dirasa belumlah begitu diperlukan.Karena ketika
terjadi peningkatan eskalasi berupa perlawanan dari pihak yang ditertibkan
seharusnya pihak Satpol PP menyerahkannya kepada aparat Kepolisian sebagai
penegak hukum. Namun seringkali koordinasi antara kedua belah pihak tidak
terlaksana dengan baik. Kedepan hal tersebut nampaknya juga membutuhkan
pemikiran yang lebih realistis lagi, agar bentuk-bentuk pelayanan terhadap
masyarakat dapat berjalan dengan baik .
DAFTAR PUSTAKA
ijin copas min, thank you
BalasHapus